Sunday, 30 October 2011


Membedakan Mainstream, Indie, atau DIY: Beberapa Kekeliruan Kategorikal 

If abolishing capitalism through punk rock is the ultimate aim of punk, and it is, then punk has so far failed, but as a process and a project commited to transforming consumers into producers, it succeeds on a daily basis (Stacey Thompson)

Pembicaraan kategorisasi biner mainstream vis a vis independen selalu jatuh pada pembahasan yang kurang lebih sama. Kategorisasi biner ini juga menjadi sindrom intelektual dalam cultural studies. Seperti Stuart Hall (resistance through ritual) dan Dick Hebdige (the meaning of subcultutre) yang jatuh pada kategori analitikal dominant culture vis a vis subculture.  Problematika dari cara berpikir ini terlihat dari semua penulis dalam polemik di Jakartabeat.net tentang indie. Jangan – jangan  kesalahan kategori teoritik ini yang tidak pernah membawa arah pembahasan ke tempat yang lebih jelas Saya tidak akan mengulas sedikit pun intisari dari polemik diatas. Yang akan saya lakukan adalah reframing the debate.
Kekeliruan utama, yang dilakukan Hall dan Hebdige , serta diulangi lagi oleh mereka yang berpolemik di Jakartabeat.net, adalah menukarkan secara bebas istilah subculture dengan counterculture. Keduanya, secara analitikal teoritik dan prakteknya jelas sangat berbeda. Mainstream musik yang berasal dari kategori budaya dominan, independen dari budaya subkultur, dan ini yang sering dilupakan, D.I.Y musik sebagai bagian dari praktek kounterkultur.
Raymond William  menawakan kategori analitikal yang kurang lebih sama seperti dominant culture, residual, dan emergent. Teman – teman di komunitas punk Jakarta, misalnya, memaknakan ulang istilah ini sebagai  budaya dominan – budaya sandingan (untuk subculture) – budaya tandingan (untuk counterculture).  Tiga jenis formasi budaya ini, untuk kepentingan analitik, perlu dipahami agar kekeliruan atau kebiasaan untuk menukar-gunakan istilah tidak terjadi dalam proses analitikal. Di sini, istilah subculture sepadan dengan residual, budaya sandingan. Sedangkan counterculture sepadan dengan emergent dan budaya tandingan.

Kekeliruan kedua, meskipun saya sependapat dengan Pry bahwa residual dan emergent misalnya lahir sebagai anak kandung kapitalisme, tapi ini tidak berarti formasi budaya tersebut mengafirmasi segala tindak dan tanduk perilaku kapitalisme.
Kekeliruan ketiga, mereka yang berpolemik di Jakartabeat.net sibuk dengan perputaran bising polemik ini dengan melihat musik “independen yang sudah tidak independen lagi” atau musik mainstream yang ga mainstream – mainstream amat. Dalam prakteknya, ketiga formasi budaya ini (baik dalam konteks musical practice atau praktek kebudayaan lainnya bersifat dinamis) saling tarik menarik dan saling serap. Marcuse mengatakan budaya dominan senang melakukan apa yang dia sebut repressive tolerance atau menyerap formasi budaya lainnya dengan komodifikasi. Sementara, subculture menurut Hedbige  melakukan mocking atau Homi Bhaba menggunakan istilah mimicry.
Saya  lebih senang mengikuti istilah Stacey Thompson yang sangat jelas membedakan secara psiko – analitik antara desire dan impulse atau hasrat impulsif yang mendorong pemusik untuk mendorong agenda kapitalisme dalam ranah astetik dan ekonomi membuatnya menjadi komoditas vis a vis mereka yang memiliki hasrat untuk menjadikan diri mereka produsen yang berasosiasi bersama dengan cara kolektif untuk mendapatkan ruang kebebasan. Dari pengaruh Thompson ini saya menggunakan istilah kecenderungan countercultural  dan kecendrungan subcultural. Mengingat setiap band sebagai pelaku utama produsen musik dapat saja  mengambil formasi kebudayaan tertentu pada saat mengeluarkan album yang berbeda. Dua kecendrungan ini bersifat kompleks karena pada dasarnya dipengaruhi konteks – situasi kondisi band, faktor ekonomi – politik dan lain hal.
Ambil  contoh, band Burger Kill yang di awal mengeluarkan album melalui Riotic Records dalam ranah produksi DIY, kemudian bergerak ke record label independen, lalu ke Sony, setelah itu kembali ke independen. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap Burger Kill, saya hendak mengatakan bahwa proses dinamika budaya ini mungkin saja terjadi bila memperhatikan bagaimana sebuah band pada satu waktu tertentu memutuskan untuk mengambil formasi budaya tertentu dalam produksi musiknya. Di luar misalnya kita bisa melihat Green Day atau yang menarik Propagandi di saat Fat Wreeckcord terkesan secara institusi ekonomi bergerak ke arah independen, Propagandi memutuskan tidak bekerjasama lagi. Atau Discord record yang tetap konsisten dengan kecendrungan D.I.Y.nya tanpa bergerak menuju moda produksi independen.

Apakah ada resistensi dalam musik indipenden?

Kekeliruan keempat, mereka yang berpolemik agaknya melihat formasi budaya secara statik. Ini  implisit terlihat dalam polemik, sehingga urusan independen dan mainstream seolah – olah bertentangan dan tidak bisa berpindah – pindah. Setiap formasi kebudayaan memiliki kontradiksinya sendiri. Sistem atau budaya kapitalisme memiliki kontrakdiksinya sendiri sehingga memungkinkan formasi budaya lain memanfaatkan celah – celah kontradiksi ini. Begitu pun sebaliknya, formasi subcultural residual dan countercultural emergent memiliki kontradiksi yang dapat dimanfaatkan oleh budaya dominan. Semua ini memungkinkan karena ada faktor relasional diantara katakana, serta terbangunnya relasi kuasa diantara ketiganya yang memungkinkan hadirnya anti kuasa (baca resistensi).
Kekeliruan kelima, menukarkan istilah dan menganggap independen sama dengan D.I.Y. Coba lihat lebih jelas lagi bagaimana cara kerja mode of production dari budaya dominan – budaya sandingan dan budaya tandingan dalam produksi budaya musiknya dalam format mainstream, independen dan D.I.Y. Di situ Anda akan menemukan perbedaan – perbedaan. Persamaan dari ketiganya dalam ranah musik adalah bahwa ketiganya membicarakan moda produksi sebuah produk budaya yang kita identifikasi sebagai musik. Namun, perbedaannya terletak pada cara memproduksi, untuk tujuan apa produksi kebudayaan itu diciptakan. Kemampuan untuk memproduksi dalam skala besar menjadi faktor pembeda utama. Belum lagi konten isi musik, kualitas sound, layout cover, dan lain-lain. Bagi mereka yang berdiri pada spektrum formasi budaya tertentu, hasil rekaman amburadul justru punya nilai lebih dibanding mainstream dan independen yang menitik beratkan pada kejernihan kualitas sound.
Apakah misalnya ada budaya trade, atau misalnya whole sale dalam distribusi produk kebudayaan musik mainstream dan independen? Jawaban untuk pertanyaan ini penting karena guna melawan kapitalisme dan menghilangkan pengaruh dari komodifikasi adalah meminimalisir apa yang kita pahami sebagai exchange values, nilai tukar yang diwakilkan oleh uang. Inilah salah satu bentuk akar dari resistensi ekonomi.
Perbedaan pada faktor distribusi juga penting. Misalnya sebagian independen record yg mengaku independen  menggunakan jejaring distribusi dari mainstream untuk memudahkan jangkauan sebar produksi musiknya. Ini  perlu untuk dibandingkan dengan bagaimana komunitas punk, terutama mereka yang menganut anarkisme dan etika D.I.Y , melakukan proses distribusi ini.
Mungkin list ini akan bertambah melihat kekeliruan dalam polemik yang tengah berlangsung. Apa jadinya misalnya Cholil dari Efek Rumah Kaca atau misalnya Otong Koil sebagai simbol – simbol independen bertemu dengan mereka di kalangan anarkisme punk seperti Tank Boy dan Anti yang Anti dengan etika D.I.Y nya? Menarik tentunya untuk bertanya apakah mereka pernah bersepakat dan bertemu? Atau bersepakat untuk tidak sepakat? Mungkin.
Lalu apakah kita dapat memulai sesuatu yang baru? Reframing the debate?  Dimana menempatkan jurnalisme jakartabeat.net dalam peta formasi budaya yang ada?

To change our frames is to change all of this. Reframing is social change (George Lakoff )

No comments:

Post a Comment