Membedakan
Mainstream, Indie, atau DIY: Beberapa Kekeliruan Kategorikal
If
abolishing capitalism through punk rock is the ultimate aim of punk, and it is,
then punk has so far failed, but as a process and a project commited to
transforming consumers into producers, it succeeds on a daily basis (Stacey Thompson)
Pembicaraan kategorisasi biner mainstream vis a
vis independen selalu jatuh pada pembahasan yang kurang lebih sama.
Kategorisasi biner ini juga menjadi sindrom intelektual dalam cultural
studies. Seperti Stuart Hall (resistance through ritual) dan Dick
Hebdige (the meaning of subcultutre) yang jatuh pada kategori analitikal
dominant culture vis a vis subculture. Problematika dari
cara berpikir ini terlihat dari semua penulis dalam polemik di Jakartabeat.net
tentang indie. Jangan – jangan kesalahan kategori teoritik ini yang tidak
pernah membawa arah pembahasan ke tempat yang lebih jelas Saya tidak akan
mengulas sedikit pun intisari dari polemik diatas. Yang akan saya lakukan
adalah reframing the debate.
Kekeliruan utama, yang dilakukan Hall dan Hebdige , serta diulangi
lagi oleh mereka yang berpolemik di Jakartabeat.net, adalah menukarkan secara
bebas istilah subculture dengan counterculture. Keduanya, secara
analitikal teoritik dan prakteknya jelas sangat berbeda. Mainstream musik yang
berasal dari kategori budaya dominan, independen dari budaya subkultur, dan ini
yang sering dilupakan, D.I.Y musik sebagai bagian dari praktek kounterkultur.
Raymond William menawakan kategori analitikal
yang kurang lebih sama seperti dominant culture, residual, dan emergent.
Teman – teman di komunitas punk Jakarta, misalnya, memaknakan ulang istilah ini
sebagai budaya dominan – budaya sandingan (untuk subculture) –
budaya tandingan (untuk counterculture). Tiga jenis formasi budaya
ini, untuk kepentingan analitik, perlu dipahami agar kekeliruan atau kebiasaan
untuk menukar-gunakan istilah tidak terjadi dalam proses analitikal. Di sini,
istilah subculture sepadan dengan residual, budaya sandingan.
Sedangkan counterculture sepadan dengan emergent dan budaya
tandingan.
Kekeliruan kedua, meskipun saya sependapat dengan Pry bahwa residual
dan emergent misalnya lahir sebagai anak kandung kapitalisme, tapi
ini tidak berarti formasi budaya tersebut mengafirmasi segala tindak dan tanduk
perilaku kapitalisme.
Kekeliruan ketiga, mereka yang berpolemik di Jakartabeat.net sibuk
dengan perputaran bising polemik ini dengan melihat musik “independen yang
sudah tidak independen lagi” atau musik mainstream yang ga mainstream –
mainstream amat. Dalam prakteknya, ketiga formasi budaya ini (baik dalam
konteks musical practice atau praktek kebudayaan lainnya bersifat
dinamis) saling tarik menarik dan saling serap. Marcuse mengatakan budaya
dominan senang melakukan apa yang dia sebut repressive tolerance atau menyerap
formasi budaya lainnya dengan komodifikasi. Sementara, subculture
menurut Hedbige melakukan mocking atau Homi Bhaba menggunakan
istilah mimicry.
Saya lebih senang mengikuti istilah Stacey
Thompson yang sangat jelas membedakan secara psiko – analitik antara desire
dan impulse atau hasrat impulsif yang mendorong pemusik untuk mendorong
agenda kapitalisme dalam ranah astetik dan ekonomi membuatnya menjadi komoditas
vis a vis mereka yang memiliki hasrat untuk menjadikan diri mereka produsen
yang berasosiasi bersama dengan cara kolektif untuk mendapatkan ruang
kebebasan. Dari pengaruh Thompson ini saya menggunakan istilah kecenderungan
countercultural dan kecendrungan subcultural. Mengingat setiap
band sebagai pelaku utama produsen musik dapat saja mengambil formasi
kebudayaan tertentu pada saat mengeluarkan album yang berbeda. Dua kecendrungan
ini bersifat kompleks karena pada dasarnya dipengaruhi konteks – situasi
kondisi band, faktor ekonomi – politik dan lain hal.
Ambil contoh, band Burger Kill yang di awal
mengeluarkan album melalui Riotic Records dalam ranah produksi DIY, kemudian
bergerak ke record label independen, lalu ke Sony, setelah itu kembali ke
independen. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap Burger Kill, saya hendak
mengatakan bahwa proses dinamika budaya ini mungkin saja terjadi bila
memperhatikan bagaimana sebuah band pada satu waktu tertentu memutuskan untuk
mengambil formasi budaya tertentu dalam produksi musiknya. Di luar misalnya
kita bisa melihat Green Day atau yang menarik Propagandi di saat Fat Wreeckcord
terkesan secara institusi ekonomi bergerak ke arah independen, Propagandi
memutuskan tidak bekerjasama lagi. Atau Discord record yang tetap konsisten
dengan kecendrungan D.I.Y.nya tanpa bergerak menuju moda produksi independen.
Apakah ada resistensi dalam musik indipenden?
Kekeliruan keempat, mereka yang berpolemik agaknya melihat formasi
budaya secara statik. Ini implisit terlihat dalam polemik, sehingga
urusan independen dan mainstream seolah – olah bertentangan dan tidak
bisa berpindah – pindah. Setiap formasi kebudayaan memiliki kontradiksinya
sendiri. Sistem atau budaya kapitalisme memiliki kontrakdiksinya sendiri
sehingga memungkinkan formasi budaya lain memanfaatkan celah – celah
kontradiksi ini. Begitu pun sebaliknya, formasi subcultural – residual
dan countercultural –emergent memiliki kontradiksi yang dapat
dimanfaatkan oleh budaya dominan. Semua ini memungkinkan karena ada faktor
relasional diantara katakana, serta terbangunnya relasi kuasa diantara
ketiganya yang memungkinkan hadirnya anti kuasa (baca resistensi).
Kekeliruan kelima, menukarkan istilah dan menganggap independen sama
dengan D.I.Y. Coba lihat lebih jelas lagi bagaimana cara kerja mode of
production dari budaya dominan – budaya sandingan dan budaya tandingan dalam
produksi budaya musiknya dalam format mainstream, independen dan D.I.Y.
Di situ Anda akan menemukan perbedaan – perbedaan. Persamaan dari ketiganya
dalam ranah musik adalah bahwa ketiganya membicarakan moda produksi sebuah
produk budaya yang kita identifikasi sebagai musik. Namun, perbedaannya
terletak pada cara memproduksi, untuk tujuan apa produksi kebudayaan itu
diciptakan. Kemampuan untuk memproduksi dalam skala besar menjadi faktor
pembeda utama. Belum lagi konten isi musik, kualitas sound, layout cover, dan
lain-lain. Bagi mereka yang berdiri pada spektrum formasi budaya tertentu,
hasil rekaman amburadul justru punya nilai lebih dibanding mainstream dan
independen yang menitik beratkan pada kejernihan kualitas sound.
Apakah misalnya ada budaya trade, atau misalnya whole
sale dalam distribusi produk kebudayaan musik mainstream dan independen?
Jawaban untuk pertanyaan ini penting karena guna melawan kapitalisme dan
menghilangkan pengaruh dari komodifikasi adalah meminimalisir apa yang kita
pahami sebagai exchange values, nilai tukar yang diwakilkan oleh uang.
Inilah salah satu bentuk akar dari resistensi ekonomi.
Perbedaan pada faktor distribusi juga penting.
Misalnya sebagian independen record yg mengaku independen menggunakan
jejaring distribusi dari mainstream untuk memudahkan jangkauan sebar produksi
musiknya. Ini perlu untuk dibandingkan dengan bagaimana komunitas punk,
terutama mereka yang menganut anarkisme dan etika D.I.Y , melakukan proses
distribusi ini.
Mungkin list ini akan bertambah melihat kekeliruan dalam
polemik yang tengah berlangsung. Apa jadinya misalnya Cholil dari Efek Rumah
Kaca atau misalnya Otong Koil sebagai simbol – simbol independen bertemu dengan
mereka di kalangan anarkisme punk seperti Tank Boy dan Anti yang Anti dengan
etika D.I.Y nya? Menarik tentunya untuk bertanya apakah mereka pernah
bersepakat dan bertemu? Atau bersepakat untuk tidak sepakat? Mungkin.
Lalu apakah kita dapat memulai sesuatu yang baru? Reframing
the debate? Dimana menempatkan jurnalisme jakartabeat.net dalam peta
formasi budaya yang ada?
To change our frames is to change all of this.
Reframing is social change (George Lakoff )
sumber : jakartabeat.net
No comments:
Post a Comment