Tuesday, 31 December 2013

GHOST PEPPER!!! cabai terpedas di dunia!!


wooowww!!! pernah kamu membayangkan memakan cabai 1 biji saja tapi menyebabkan pedas yang sangat berlebihan. ini adalah cabai tepedas didunia yaitu GHOST PEPPER atau Cabai Setan.


Cabe Setan berasal dari India tepatnya di daerah Assam. Setelah makan satu biji saja cabe setan ini rasa pedasnya tidak akan hilang sampai setengah jam!!  Kayaknya cocok nih buat penggemar rasa pedas cabe atau buat para pedagang makanan pedas sebagai pengganti cabe rawit saat harga cabe melambung tinggi. Anda tidak perlu banyak cabe untuk menghasilkan rasa super pedas. 

Bhut jolokia memiliki tingkat kepedasan melebihi 1.000.000 SHU (Scoville Heat Unit), coba bandingkan dengan cabe rawit yang punya tingkat kepedasan 50.000-100.000 SHU saja. Bhut jolokia ada berbagai warna, cabe warna Ungu dan Putih berwarna ungu dan putih saat belum matang, ketika matang mereka akan berwarna merah. Sedangkan cabe Bhut Jolokia Coklat yang akan berwarna coklat saat matang. 






Bentuk cabe ini keriput dan ukurannya gemuk kecil. Bentuknya yang lucu ini bisa nada tanam sebagai cabai hias sekaligus bermanfaat ganda untuk kebutuhan dapur. Penduduk Assam India percaya bahwa banyak makan cabe Bhut Jolokia dapat membantu memerangi penyakit rematik, kanker, rematik, osteoporosis, menurunkan tekanan darah dan kolesterol. Cabe sendiri mengandung vitamin A, C, Kalium, Magnesium, dan Fe yang membantu mencegah penggumpalan darah, menghilangkan plak dari arteri, menyembuhkan luka, dan menangkal flu. Di dalam cabe terdapat zat Photochemical yang dapat mengurangi sel kanker dan tumor. Bahan aktif dalam Capsicum (kelompok tumbuhan cabai), merangsang otak dan kelenjar ludah melepas endorfin ke dalam tubuh. Endorfin adalah obat penghilang rasa sakit alami alam dan memberi rasa senang. Capsicum juga merupakan bahan utama untuk mengurangi arthritis dan kerusakan saraf diabetes. Dalam pengobatan tradisional, cabai hantu digunakan untuk penyakit tangan dan kaki dingin, sakit otot punggung, rematik, terkilir dan memar.


Saat ini sudah banyak tersedia bibit cabe setan yang bisa anda pesan di internet, namun harganya masih lumayan mahal, sekitar Rp.1000-3000 per biji.  Jika anda tertarik untuk mencoba menanamnya bisa membeli bibitnya tersebut.  Teknis penanaman seperti halnya menanam cabe biasa. tapi saya tidak merekomendasi anda untuk mengkonsumsinya setiap hari, karena ini akan berakibat fatal hahaha. Disarankan untuk menyediakan susu jika anda ingin mencoba cabai terpedas ini. Untuk lebih percaya lagi, dalam channel youtube Rhett and Link 2 membahas tentang betapa pedasnya GHOST PEPPER.





Tuesday, 1 November 2011

PERJALANAN HIDUP ANAK MANUSIA


mahasiswa ngantri sembako


Mahasiswa adalah suatu nama yang sakral buat orang lain, entah kenapa?? Mungkin buat saya suatu nama yang mewakili sebagaiii... ya bisa di bilang titel suatu remaja untuk menghadapi hidup yang lebih keras lagi. Tapi memang tidak di pungkiri, berada dalam posisi mahasiswa itu segalanya harus serba sendiri, tapii yaa mungkin tidak semuanya sendiri juga. Tapi ini definisi saya lho ya... Coba deh anda lihat perbedaan dari anda TK, SD, SMP, SMA dan kemudian sekarang kuliah. Perbedaan nya sangat signifikan sekali, ya mungkin karena bertambahnya umur dan lingkungan hidup sekitar yang semakin berkembang.



Sebenernya saya cuma mau berbagi pengalaman hidup anak muda jaman sekarang.. eh tunggu, mungkin muda nya jaman saya. Mungkin saya mau bahas ketika masa kanak-kanak. Dulu ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar kebanyakan anak biasanya sedang senangnya bermain sana sini tanpa memperdulikan apa yang sedang dimainkan (positiv thinking please!!!!) misalnya bermain petak umpat dengan teman-temannya, bahkan belajar kalau bisa di bilang hanya sebagian rutinitas kecil, kalo pun mau belajar kudu ada sura auman seperti ini “naaakkkkk belajar jangan maen aja, mamah potong uang jajannya baru tau rasa!!” siapa yang gak takut akan ancaman seperti ini????

Dulu ketika saya masih duduk di sekolah dasar saya beruntung bisa mengenal permainan semacam petak umpet, gobak sodor, engklek, gasing yang dibuat sendiri dll deh. Tapi coba deh liat sekarang, anak-anak SD sekarang mah mainan nya Play Station, yang segalanya dimainin pake alat seperti ini:

stick PS idaman tiap mahasiswa

Coba sok mana ada sih anak kecil yang nolak mainan kayak beginian. Tapi memang sih yang namanya PS tuh maenan nya orang dewasa juga #opppsss.

Laanjut deh ke masa SMP (Sekolah Maunya Pacaran) kalo jaman saya pas SMP itu mungkin terlihat seperti film koboy tahun 60an yang gambarnya masih hitam putih. Jadi gak usah di bahas deh!!!

Masa SMP tuh mungkin saatnya muda mudi mengenal yang namanya cinta dan persahabatan. Terkadang terlihat seorang teman anda yang sedang diolok olok, misalnya gini deh “ciieee joko suka sama tini... cie ciee ciiee” pokoknya gitu deh yang ada “cie cie” nya, tunggu bukan ciu lho ya. Terus jangan salah lho, tingkat ASUsila di SMP tuh lumayan banyak, karena mungkin rasa penasaran si pelaku setelah melihat film yang “begituan” dan mungkin gurunya mengajarkan “Nak, setelah kamu mendapatkan teori segera praktekan ya!!” nah mugnkin dari situ juga si pelaku salah tanggap. Terjadi lah seperti itu dan mulai bermunculan video 3GP. Lagian nih ya,,, cewe SMP gitu masih fresh banget siapa sih yang gak mau?? #opppsss
dapet gambar ini dari mbah

Nah selain percintaan ada lagi nih yang unik, terkadang mereka tidak ingin di anggap remeh oleh teman sepermainannya dan mau di anggap hebat, jadilah seorang anak SMP yang sok jagoan di sekolahnya atau seantera jagad raya. Malak, mabok, rokok, balapan yaa mungkin itu yang mulai di coba-coba oleh anak brandal smp. Mungkin dari tunggangan agar lebih menarik diliat temen lain, di kasih motor sama ortu stang langsung di bengkokin kayak tukang somay, knalpot di ganti yang suaranya bikin kuping keluar cairan hijau, dan beralihnya fungsi helm menjadi pajangan kamar saja.


begajulan banget kan!!!


Kemudian beralih ke masa SMA... waaahh ini nih masa-masa yang paling indah banget deh. Tapi sebenernya ketika baru awal masuk SMA, seseorang  pasti masih cupu banget. Mungkin karena mereka belum menemukan mainstream yang cocok buat dia tiru. Kemudian mulai merambah dan menambah banyak teman. Hal yang paling sering di lakukan anak SMA yaitu nongkrong ketimbang belajar. Balajar pun itu kalo sudah ada ancaman “TIDAK DAPAT UANG JAJAN!!!” secepat kilat masuk kamar, membuka buku yang di tengahnya tetep ada HP untuk sekedar melihat FB ada notif apa engga. Masa SMA itu mungkin bisa di bilang sangat kelam kalau anda masuk lebih dalam nya lagi. eeemm tapi tergantung masuk di pergaulan mana dulu, kalo masuk ke yang lebih dalam dunia masjid ya mungkin jadi anak buah nya guru Agama atau Bahasa Arab. Tapi kalo selain itu pasti deh gak heran denger kata SEX, Tawuran, Mabok, dan Geng Motor,, masih banyak deh gak mungkin nyebutin satu persatu. 
 
Apalagi kalau anda lihat lebih detil lagi cewe SMA itu lebih ganas dari cewe SMP. Tapi ini gak semuanya begitu lhoo.... ini juga foto saya boleh ambil dari google kok. Bukan temen saya juga lho yaa.

kucing garong atau kucing beneran juga gak nahan liat ginian!!


 Sebenernya kalo menurut saya mah wajar sih, ketika pada saat itu mereka masih mecari jati diri. So, kalo mereka sudah menemukan jati diri yang benar pasti lah mereka kembali  ke jalan yang benar, tapi kemungkinan kecil juga sih ke jalan yang benar. Jarang soalnya.

Kemudian masuklah ke masa mahasiswa... naaaaahhhhh ini dia, untuk beberapa tahun ke depan saya belum bisa jelasin. Terang aja, saya belum lulus kuliah juga!!!

Sekian dari saya, mohon maaf kalo ada salah ketik!! Maklumin aja, kagak usah banyak komentar kalo banyak yang salah yee.

Sunday, 30 October 2011


Membedakan Mainstream, Indie, atau DIY: Beberapa Kekeliruan Kategorikal 

If abolishing capitalism through punk rock is the ultimate aim of punk, and it is, then punk has so far failed, but as a process and a project commited to transforming consumers into producers, it succeeds on a daily basis (Stacey Thompson)

Pembicaraan kategorisasi biner mainstream vis a vis independen selalu jatuh pada pembahasan yang kurang lebih sama. Kategorisasi biner ini juga menjadi sindrom intelektual dalam cultural studies. Seperti Stuart Hall (resistance through ritual) dan Dick Hebdige (the meaning of subcultutre) yang jatuh pada kategori analitikal dominant culture vis a vis subculture.  Problematika dari cara berpikir ini terlihat dari semua penulis dalam polemik di Jakartabeat.net tentang indie. Jangan – jangan  kesalahan kategori teoritik ini yang tidak pernah membawa arah pembahasan ke tempat yang lebih jelas Saya tidak akan mengulas sedikit pun intisari dari polemik diatas. Yang akan saya lakukan adalah reframing the debate.
Kekeliruan utama, yang dilakukan Hall dan Hebdige , serta diulangi lagi oleh mereka yang berpolemik di Jakartabeat.net, adalah menukarkan secara bebas istilah subculture dengan counterculture. Keduanya, secara analitikal teoritik dan prakteknya jelas sangat berbeda. Mainstream musik yang berasal dari kategori budaya dominan, independen dari budaya subkultur, dan ini yang sering dilupakan, D.I.Y musik sebagai bagian dari praktek kounterkultur.
Raymond William  menawakan kategori analitikal yang kurang lebih sama seperti dominant culture, residual, dan emergent. Teman – teman di komunitas punk Jakarta, misalnya, memaknakan ulang istilah ini sebagai  budaya dominan – budaya sandingan (untuk subculture) – budaya tandingan (untuk counterculture).  Tiga jenis formasi budaya ini, untuk kepentingan analitik, perlu dipahami agar kekeliruan atau kebiasaan untuk menukar-gunakan istilah tidak terjadi dalam proses analitikal. Di sini, istilah subculture sepadan dengan residual, budaya sandingan. Sedangkan counterculture sepadan dengan emergent dan budaya tandingan.

Kekeliruan kedua, meskipun saya sependapat dengan Pry bahwa residual dan emergent misalnya lahir sebagai anak kandung kapitalisme, tapi ini tidak berarti formasi budaya tersebut mengafirmasi segala tindak dan tanduk perilaku kapitalisme.
Kekeliruan ketiga, mereka yang berpolemik di Jakartabeat.net sibuk dengan perputaran bising polemik ini dengan melihat musik “independen yang sudah tidak independen lagi” atau musik mainstream yang ga mainstream – mainstream amat. Dalam prakteknya, ketiga formasi budaya ini (baik dalam konteks musical practice atau praktek kebudayaan lainnya bersifat dinamis) saling tarik menarik dan saling serap. Marcuse mengatakan budaya dominan senang melakukan apa yang dia sebut repressive tolerance atau menyerap formasi budaya lainnya dengan komodifikasi. Sementara, subculture menurut Hedbige  melakukan mocking atau Homi Bhaba menggunakan istilah mimicry.
Saya  lebih senang mengikuti istilah Stacey Thompson yang sangat jelas membedakan secara psiko – analitik antara desire dan impulse atau hasrat impulsif yang mendorong pemusik untuk mendorong agenda kapitalisme dalam ranah astetik dan ekonomi membuatnya menjadi komoditas vis a vis mereka yang memiliki hasrat untuk menjadikan diri mereka produsen yang berasosiasi bersama dengan cara kolektif untuk mendapatkan ruang kebebasan. Dari pengaruh Thompson ini saya menggunakan istilah kecenderungan countercultural  dan kecendrungan subcultural. Mengingat setiap band sebagai pelaku utama produsen musik dapat saja  mengambil formasi kebudayaan tertentu pada saat mengeluarkan album yang berbeda. Dua kecendrungan ini bersifat kompleks karena pada dasarnya dipengaruhi konteks – situasi kondisi band, faktor ekonomi – politik dan lain hal.
Ambil  contoh, band Burger Kill yang di awal mengeluarkan album melalui Riotic Records dalam ranah produksi DIY, kemudian bergerak ke record label independen, lalu ke Sony, setelah itu kembali ke independen. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap Burger Kill, saya hendak mengatakan bahwa proses dinamika budaya ini mungkin saja terjadi bila memperhatikan bagaimana sebuah band pada satu waktu tertentu memutuskan untuk mengambil formasi budaya tertentu dalam produksi musiknya. Di luar misalnya kita bisa melihat Green Day atau yang menarik Propagandi di saat Fat Wreeckcord terkesan secara institusi ekonomi bergerak ke arah independen, Propagandi memutuskan tidak bekerjasama lagi. Atau Discord record yang tetap konsisten dengan kecendrungan D.I.Y.nya tanpa bergerak menuju moda produksi independen.

Apakah ada resistensi dalam musik indipenden?

Kekeliruan keempat, mereka yang berpolemik agaknya melihat formasi budaya secara statik. Ini  implisit terlihat dalam polemik, sehingga urusan independen dan mainstream seolah – olah bertentangan dan tidak bisa berpindah – pindah. Setiap formasi kebudayaan memiliki kontradiksinya sendiri. Sistem atau budaya kapitalisme memiliki kontrakdiksinya sendiri sehingga memungkinkan formasi budaya lain memanfaatkan celah – celah kontradiksi ini. Begitu pun sebaliknya, formasi subcultural residual dan countercultural emergent memiliki kontradiksi yang dapat dimanfaatkan oleh budaya dominan. Semua ini memungkinkan karena ada faktor relasional diantara katakana, serta terbangunnya relasi kuasa diantara ketiganya yang memungkinkan hadirnya anti kuasa (baca resistensi).
Kekeliruan kelima, menukarkan istilah dan menganggap independen sama dengan D.I.Y. Coba lihat lebih jelas lagi bagaimana cara kerja mode of production dari budaya dominan – budaya sandingan dan budaya tandingan dalam produksi budaya musiknya dalam format mainstream, independen dan D.I.Y. Di situ Anda akan menemukan perbedaan – perbedaan. Persamaan dari ketiganya dalam ranah musik adalah bahwa ketiganya membicarakan moda produksi sebuah produk budaya yang kita identifikasi sebagai musik. Namun, perbedaannya terletak pada cara memproduksi, untuk tujuan apa produksi kebudayaan itu diciptakan. Kemampuan untuk memproduksi dalam skala besar menjadi faktor pembeda utama. Belum lagi konten isi musik, kualitas sound, layout cover, dan lain-lain. Bagi mereka yang berdiri pada spektrum formasi budaya tertentu, hasil rekaman amburadul justru punya nilai lebih dibanding mainstream dan independen yang menitik beratkan pada kejernihan kualitas sound.
Apakah misalnya ada budaya trade, atau misalnya whole sale dalam distribusi produk kebudayaan musik mainstream dan independen? Jawaban untuk pertanyaan ini penting karena guna melawan kapitalisme dan menghilangkan pengaruh dari komodifikasi adalah meminimalisir apa yang kita pahami sebagai exchange values, nilai tukar yang diwakilkan oleh uang. Inilah salah satu bentuk akar dari resistensi ekonomi.
Perbedaan pada faktor distribusi juga penting. Misalnya sebagian independen record yg mengaku independen  menggunakan jejaring distribusi dari mainstream untuk memudahkan jangkauan sebar produksi musiknya. Ini  perlu untuk dibandingkan dengan bagaimana komunitas punk, terutama mereka yang menganut anarkisme dan etika D.I.Y , melakukan proses distribusi ini.
Mungkin list ini akan bertambah melihat kekeliruan dalam polemik yang tengah berlangsung. Apa jadinya misalnya Cholil dari Efek Rumah Kaca atau misalnya Otong Koil sebagai simbol – simbol independen bertemu dengan mereka di kalangan anarkisme punk seperti Tank Boy dan Anti yang Anti dengan etika D.I.Y nya? Menarik tentunya untuk bertanya apakah mereka pernah bersepakat dan bertemu? Atau bersepakat untuk tidak sepakat? Mungkin.
Lalu apakah kita dapat memulai sesuatu yang baru? Reframing the debate?  Dimana menempatkan jurnalisme jakartabeat.net dalam peta formasi budaya yang ada?

To change our frames is to change all of this. Reframing is social change (George Lakoff )

Monday, 4 October 2010

Pluralisme & Multikulturalisme

1. PENDAHULUAN

Seiring berjalannya waktu wacana tentang Pluralisme dan multikulturalisme menjadi sesuatu isu penting dalam upaya pembangunan indonesia. Belajar dari pengalaman sejarah yang menunjukan pada kita, begitu besar korban dan penderitaan umat manusia sebagai imbas dari pemaknaan yang kurang tepat akan keragaman (pluralisme dan multikulturalisme). Pertikaian terjadi di berbagai belahan dunia mulai dari utara barat dan selatan pertikaian akibat sentiment etnis, ras, budaya, golongan serta agama.

Fenomena ini tidak menyurutkan bagi siapapun untuk menentang dan memihak keduanya. Namun kini Multikulturalsime sebagai sebuah fenomena yang relatif baru dalam terminologi ilmiah berkembang pesat menjadi realita yang menggejala dalam berbagai peristilahan di masyarakat. Sehingga tak heran jika istilah tersebut populer di kehidupan sehari-hari meskipun terkadang masih banyak sesungguhnya yang tidak paham makna serta arti dari kata tersebut.

Asas yang diambil oleh Indonesia, yang kemudian dirumuskan dalam semboyan bhineka tunggal ika. Pernyataan tersebut mengandung makna meskipun berbeda-beda tetapi ada keinginan untuk tetap menjadi satu. Indonesia adalah potret sebuah negeri yang memiliki keragaman budaya. Dalam pandangan Koentjaraningrat Indonesia dapat disebut sebagai negara plural terlengkap di dunia di samping Amerika. Di Amerika dikenal semboyan et pluribus unum, yang mirip dengan bhineka tunggal ika, yang berarti banyak namun hakikatnya satu. Realitas historis menunjukkan bahwa bangsa Indonesia berdiri tegak di antara keragaman budaya yang ada. Salah satu contoh nyata adalah dengan dipilihnya bahasa Melayu sebagai akar bahasa persatuan yang kemudian berkembang menjadi bahasa Indonesia. Dengan kesadaran yang tinggi semua komponen bangsa menyepakati sebuah konsensus bersama untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan yang dapat mengatasi sekaligus menjembatani jalinan antarkomponen bangsa.

Tulisan singkat ini bermaksud menjelaskan sedikit tentang arti dari pluralisme dan multikulturalisme yang ada di negeri tercinta, Indonesia.

2. DEFINISI PLURALISME & MULTIKULTURALISME

Pluralisme adalah faham yang memberikan ruang nyaman bagi paradigma perbedaan sebagai salah satu entitas mendasar kemanusiaan seorang manusia. Pluralisme yang sebelumnya memiliki pengertian netral yang secara etimologi berarti “paham tentang yang plural” merambah dalam pemikiran yang lebih ke masa lampau dan menembus wilayah sakral keagamaan. Secara terminologi pluralisme adalah ajaran bahwa kenyataan berdasarkan berbagai asas yang masing-masing tidak berhubungan yang satu dengan yang lain bahwa kenyataan terdiri dari berbagai unsur dasar, yang masing-masing berlainan faham pada yang satu dengan yang lain.

Kemudian yang di maksud dengan Multikulturalisme adalah paradigma yang menganggap adanya kesetaraan antar ekspresi budaya yang plural. Namun menurut Parsudi Suparlan (2001) mengatakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaaan kultur, atau sebuah keyakinan yang mengakui pluralisme kultur sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme menyangkut kesadaran sosial bahwa di dalam kehidupan masyarakat terdapat keragaman budaya. Kesadaran tersebut berdimensi etis yang menuntut tanggung jawab yang terarah pada tindakan baik dan benar, yang selanjutnya terwujud ke dalam berbagai bentuk penghargaan, penghormatan, perhatian, kasih sayang, cinta, dan pengakuan akan eksistensi terhadap sesama.

Masyarakat multikultural memiliki ciri yang berbeda dengan masyarakat plural, karena pada masyarkat multikultural terjadi interaksi aktif antara masyarakat dan budaya yng prulal dalam kehidupan sehari hari. Ada nuansa keseteraan dan keadilan dalam unsur budaya yang berbeda tersebut. Prinsip keanekaragaman, perbedaan, kesederajatan persamaan, penghargaan demokrasi, hak azasi, dan soidaritas merupakan prinsip multikulturalisme.

Dalam konteks indonesia sejarah peranan negara pada masa orde baru amatlah kuat. Misalnya saja dalam bidang politik negara yang mengesahkan satu ideologi organisasi kepartaian dalam bidang pendidikan negara melakukan penyeragaman kurikulum tanpa memperdulikan muatan lokal dalam bidang ekonomi negara melakukan sentralisasi dan eksploitasi sumber daya alam dan manusia, dalam bidang agama dan budaya. Secara sederhana, pendidikan multikultural dapat dimaknai sebagai proses untuk menumbuhkan kemampuan cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. multikulturalisme mempunyai relevansi makna dan fungsi yang tepat. Untuk itulah maka konsep tersebut menjadi penting dikembangkan dan diinternalisasikan dalam proses transformasi nilai-nilai bagi masyarakat bangsa yang beragam. Prinsip-prinsip dasar multikulturalisme yang mengakui dan menghargai keberagaman, akan sangat membantu bagi terjadinya perubahan format perilaku sosial yang kondusif dan menjanjikan ditengah kehidupan masyarakat yang majemuk. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan tercerai.

pentingnya penanaman faham tentang multikulturalisme di banding prulalisme dalam bidang pendidikan yaitu menumbuhkan suatu pencerminan suatu bersatunya negara ini, dalam kemajuan aspek budaya dan keanekaragaman yang terdiri di dalamnya. Sehingga tetap menjdi satu kesatuan yang utuh. Namun bukan berarti kita hanya memegang faham multikulturalisme, karena sebuah bangsa yang perspektif tunggal merupakan sebuah kesalahan besar.
Realitanya dan kenyataan yang ada, Indonesia dengan segala perbedaan yang melekat pada geografinya, demografinya, religiusitasannya, serta kulturalnya tetap bertahan dalam satu kesatuan. Paradigma bahwa pendidikan multikultural memberikan kebermanfaatan untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas antar etnik, ras, agama, dan budaya. Suatu hal yang penting, penanaman akan arti multikulturalisme itu dimulai dari instansi terkecil yaitu keluarga, karena keluarga merupakan media pembelajaran utama dalam kita menghadapi dunia luar. Kemudian fungsi keluarga adalah sebagai proses dimana seseorang mengalami internalisasi, transformasi, dan sosialisasi sebuah tata nilai. Orang tua berperan aktif dalam mengembangkan dan menanamkan nilai nilai sosial yang ada dalam arti multikulturalisme maupun pluralisme. Begitu juga kebudayaan yang dimiliki suatu negara, ruang lingkup keluargalah yang paling utama dalam memeberikan suatu pengajaran, sehingga tercipta suatu penghargaan setiap keanekaragaman budaya yang di miliki indonesia.
Kebudayaan pada hakekatnya tidak terlepas dari komunikasi, dalam konssep ini maka kebudayaan (budaya) adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu.

Dari gambaran tersebut di atas, setidaknya dapat dilihat bagaimana sebenarnya perbedaan kulturalisme dengan multikulturalisme. Dr. Turnomo Rahardjo misalnya membedakan keduanya sebagai berikut :

(1) Kulturalisme

1. Bertujuan mengembangkan interdependensi pada aspek-aspek pragmatis dan instrumental dalam kontak antarbudaya;

2. Memberikan penekanan pada pemeliharaan identitas kultural;

3. Mengkombinasikan pendekatan etic (memperoleh data) dan pendekatan emic (mendapatkan data) dalam pertukaran antarbudaya.

(2) Multikulturalisme

1. Bertujuan mempertahankan dan mentransmisikan budaya yang tidak dapat diubah oleh kekuatan-kekuatan relasional maupun eksternal;

2. Berusaha memelihara identitas kultural dengan segala konsekuensinya;

3. Merupakan proses emic (mendapatkan data) karena mensyaratkan pemeliharaan terhadap keberadaan setiap budaya.

Budaya berkesinambungan dan hadir dimana-mana budaya meliputi semua penegasan perilaku yang diterima selama suatu periode kehidupan. Budaya juga berkenaan dengan bentuk dan struktur fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi hidup kita. Sebagian besar pengaruh budaya terhadap kehidupan kita tidak kita sadari. Mungkin suatu cara untuk memahami pengaruh budaya adalah dengan membandingkannya dengan komputer elektronik, kita memrogram komputer agar melakukan sesuatu, budaya kita pun memrogram kita agar melakukan sesuatu dan menjadikan kita apa adanya. Budaya kita secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati – dan bahkan setelah mati pun kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita.

Oleh karena itu budaya memberi identitas kepada sekelompok orang bagaimana kita dapat mengidentifikasi aspek-aspek budaya yang menjadikan sekelompok orang sangat berbeda? Salah satu caranya adalah dengan menelaah kelompok dan aspek-aspeknya, antara lain Komunikasi dan Bahasa, Pakaian dan Penampilan, Makanan dan Kebiasaan Makan, Waktu dan Kesadaran Akan Waktu, Penghargaan dan Pengakuan, Hubungan-hubungan, Nilai dan Norma, Rasa Diri dan Ruang, Proses Mental dan Belajar, dan Kepercayaan dan Sikap.

3. ATURAN HUKUM TERKAIT PLURALISME & MULTIKULTURALISME

Hal yang nampak dalam tidak menghargai perbedaan pluralisme dalam pendidikan adalah dalam pelaksanaan UN (Ujian Nasional) yang terlihat memaksa, karena sesorang memiliki kemampuan dan minat masing masing, sehingga penyerataan yang ada dalam UN itu bersifat ‘beban’ bagi setiap individu. paradigma multikultural juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal ini menjelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Sekolah sebagai suatu institusi diharapkan mampu menjadi persemaian “bibit-bibit” bagi kekuatan kehidupan masyarakat di masa datang. Pendidikan merupakan bagian dari proses pembudayaan nurani dan pemerdekaan berpikir. Semuanya diarahkan pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa dan berbudi pekerti luhur, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UUSPN Bab II, pasal 4).Namun seiring berjalannya waktu, pendidikan multikultural mulai menyebar ke wilayah di luar Amerika, khususnya di negara yang memiliki kebhinekaan etnik, ras, agama dan kultural seperti Indonesia. pendidikan multikultural mencakup gagasan pluralisme-kultural, yang memberi ruang kajian bagi pemahaman dan penghargaan budaya dalam keberagaman kelompok masyarakat.

4. PENDAPAT TOKOH INDONESIA TENTANG KONDISI PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME

a. KH. Abdurahman Wahid

Dengan adanya kesadaran tentang pentingnya pluralisme, setiap pihak diharapkan menyadari bahwa sebagai manusia, kita tidak hanya dianugerahi persamaan, melainkan juga perbedaan. Setiap manusia mempunyai ciri, karakter, dan keyakinan masing-masing. Semua itu tidak bisa diseragamkan dengan cara apa pun.

Hukum alam mengakui keberadaan mayoritas dan minoritas bukan semata untuk saling menghabisi, melainkan sebagai energi dialektika demi mencapai kemajuan peradaban umat manusia. Semoga saja adanya sense of minority dalam rajutan social fabric kita dapat menghapus segala bentuk penindasan yang dilakukan kaum mayoritas terhadap minoritas. Dengan demikian, robohnya kerukunan beragama di negeri ini bisa segera diatasi bersama.

b. Prof. Dr. M. Amien Rais

Akhir-akhir ini saya melihat istilah pluralisme yang sesungguhnya indah dan anggun justru telah ditafsirkan secara kebablasan. Sesungguhnya toleransi dan kemajemukan telah diajarkan secara baku dalam Al-Quran. Memang Al-Quran mengatakan hanya agama Islam yang diakui di sisi Allah, namun koeksistensi atau hidup berdampingan secara damai antar-umat beragama juga sangat jelas diajarkan melalui ayat, lakum diinukum waliyadin. Bagiku agamaku dan bagimu agamamu. Dalam istilah yang lebih teknis, wishfull coexistent among religions, atau hidup berdamai antar umat beragama di muka bumi.

Tidak ada yang keliru dari aliran pluralisme ?

Nah, karena itu tidak ada yang salah kalau misalnya seorang Islam awam atau seorang tokoh Islam mengajak kita menghormati pluralisme. Karena tarikh Nabi sendiri itu juga penuh ajaran toleransi antarberagama. Malahan antar-umat beragama boleh melakukan kemitraan di dalam peperangan sekalipun. Banyak peristiwa di zaman Nabi ketika umat Nasrani bergabung dengan tentara Islam untuk menghalau musuh yang akan menyerang Madinah.

c. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono

Pertama, bangsa Indonesia perlu menyadari bahwa pluralisme merupakan sebuah berkah (rahmah). Para sosiolog dan antropolog menyakini betul pluralisme itu sebagai suatu kebutuhan. Dengan munculnya tuntutan pelbagai kelompok tersebut, maka lahirlah kombinasi dari setiap kelompok sebagai mikrokultur (sekurang-kurangnya mereka terkait pada homogenitas etnik karena alasan kultural. Dalam perkembangan selanjutnya, sadar atau tidak sadar, terjadi interaksi antarkelompok etnik untuk bersama-sama berusaha memenuhi kebutuhan mereka. Dari sinilah terjadi perubahan dari kelompok tersebut, dari kelompok mikrokultural yang homogen ke multikultur yang lebih heterogen (baca, Linch & Hanson dalam Liliweri, 2005:62, Wahid dan Ihsan, 2004).

Kedua, menjadikan nilai dan etika pluralisme atau multikultural sebagai bagian dari hidup, bukan sekedar program. Pluralisme dalam masyarakat tidak terbantahkan eksistensinya. Pada masyarakat multikultural kelompok-kelompok etnik dapat menikmati hak-hak mereka yang sama dan seimbang, dapat melindungi dan memelihara diri mereka sendiri karena mereka menjalankan tradisi kebudayaannya.

5. PENDAPAT PENULIS TENTANG PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME

Menurut saya perbedaan antara pluralisme dan multikulturalisme itu tidaklah menjadi penghalang kebebasan berbudaya dalam negeri yang kita cintai ini, karena setiap paradigma yang muncul dari setiap individu, memancing kita untuk berlomba saling memepertahankan idealis kita masing masing dan saling sikut menyikut tanpa adanya penghargaan perbedaan dalam kehidupan. Idealis yang kita pegang erat dan kita mantapkan sebagai pedoman hidup tidak seharusnya menindas suatu individu lain, sebaliknya dengan kita berpegang teguh dengan apa yang kita punya, kita harus bisa memperadakan paham individu lain untuk memberikan kebebasan mereka dalam beridiolgi. Sehingga kita dapat memusnahkan bahkan menghapuskan pertikaian antara kelompok yang tidak saling menghargai ideologi yang di genggam oleh masing masing. Dalam setiap sisi kehidupan, manusia selalu berada pada dua sisi, yaitu sebagai individu dengan segala karateristiknya dan sebagai bagian dari kelompok manusia yang lain. Dua sisi tersebut menempatkan manusia pada dimensi personal dan dimensi sosial. Dimensi sosial akan tampak eksistensinya bila didukung oleh keberadan personal, seba-liknya dimensi personal akan semakin bermakna jika berada pada konteks soisal. Dimensi personal membawa impilkas ke-bhineka-an yang dibawa masing-masing individu. Sementara itu, dimensi sosial mengandaikan adanya ke-ekaan sebagai wujud menyatunya ke-bhineka-an. Hal itulah yang menjadi inti dari adanya pluralisme budaya.

Dan kita sebagai masyarakat Muslim yang senantiasa menghagai perbedaan, tentunya kita tidak serta merta menuduh bahwa yang lain itu salah, dan mengklaim bahwa hanya dirinya sendiri yang benar. Kita sebagai umat Muslim tentunya harus mengamalkan apa yang diajarkan agama Islam, dimana ajaran Islam mengajarkan kita untuk saling kenal-mengenal. Ini berarti bahwa keanekaragaman budaya merupakan suatu anugrah tersendiri dari Allah SWT kepada kita, sebagai bahan renungan.

6. PENUTUP

Pada akhir tulisan ini penulis dapat menarik kesimpulan dan dengan kesimpulan tersebut setidaknya mendapatkan gambaran yang cukup jelas tentang Pluralisme dan Multi-Kulturalisme, sehingga diharapkan dapat lebih memperjelas apa yang telah digambarkan di atas. Dan dengan kesimpulan tersebut pula setidaknya penulis dapat memberikan beberapa saran yang nantinya semoga dapat dipertimbangkan.

DAFTAR PUSTAKA


Fajar, Malik. 2004. Mendiknas: Kembangkan Pendidikan Multikulturalisme.

Geger. Mengkomposisikan Integrasi sebagai Fondasi Multikulturalisme.

Harian Suara Pembaharuan. 9 September 2004. Tanggung Jawab Besar Pendidikan Multikultural. http://www.sampoernafoundation.org/content/view/212/48/lang,id/.

Rahman. 2005. Pentingnya Pendidikan Multikultur Atasi Konflik Etnis. http://www.ganto-online.com/index.php?option=com content&tast=view&id=55&Itemid=73.

Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. http://www.scripp.ohiou.edu/news/cmdd/artikel-ps.htm.

Efendi, Anwar. Sekolah sebagai Tempat Pesemaian Nilai Multikulturalism.

Isya Marjani, Gustiana. 2009. Multikulturalisme dan Pendidikan: Relevansi Pendidikan dalam

Membangun Wacana Multikulturalisme di Indonesia.

Haidar, Dzaky. Agustus 2005. Aktualisasi Paradigma Multi Kulturalisme Dalam Budaya Indonesia Yang Plural.

Syafi’i, Ahmad. 2008. Penyuluh agama Pada Masyarakat Multikultural.