Tuesday 1 November 2011

PERJALANAN HIDUP ANAK MANUSIA


mahasiswa ngantri sembako


Mahasiswa adalah suatu nama yang sakral buat orang lain, entah kenapa?? Mungkin buat saya suatu nama yang mewakili sebagaiii... ya bisa di bilang titel suatu remaja untuk menghadapi hidup yang lebih keras lagi. Tapi memang tidak di pungkiri, berada dalam posisi mahasiswa itu segalanya harus serba sendiri, tapii yaa mungkin tidak semuanya sendiri juga. Tapi ini definisi saya lho ya... Coba deh anda lihat perbedaan dari anda TK, SD, SMP, SMA dan kemudian sekarang kuliah. Perbedaan nya sangat signifikan sekali, ya mungkin karena bertambahnya umur dan lingkungan hidup sekitar yang semakin berkembang.



Sebenernya saya cuma mau berbagi pengalaman hidup anak muda jaman sekarang.. eh tunggu, mungkin muda nya jaman saya. Mungkin saya mau bahas ketika masa kanak-kanak. Dulu ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar kebanyakan anak biasanya sedang senangnya bermain sana sini tanpa memperdulikan apa yang sedang dimainkan (positiv thinking please!!!!) misalnya bermain petak umpat dengan teman-temannya, bahkan belajar kalau bisa di bilang hanya sebagian rutinitas kecil, kalo pun mau belajar kudu ada sura auman seperti ini “naaakkkkk belajar jangan maen aja, mamah potong uang jajannya baru tau rasa!!” siapa yang gak takut akan ancaman seperti ini????

Dulu ketika saya masih duduk di sekolah dasar saya beruntung bisa mengenal permainan semacam petak umpet, gobak sodor, engklek, gasing yang dibuat sendiri dll deh. Tapi coba deh liat sekarang, anak-anak SD sekarang mah mainan nya Play Station, yang segalanya dimainin pake alat seperti ini:

stick PS idaman tiap mahasiswa

Coba sok mana ada sih anak kecil yang nolak mainan kayak beginian. Tapi memang sih yang namanya PS tuh maenan nya orang dewasa juga #opppsss.

Laanjut deh ke masa SMP (Sekolah Maunya Pacaran) kalo jaman saya pas SMP itu mungkin terlihat seperti film koboy tahun 60an yang gambarnya masih hitam putih. Jadi gak usah di bahas deh!!!

Masa SMP tuh mungkin saatnya muda mudi mengenal yang namanya cinta dan persahabatan. Terkadang terlihat seorang teman anda yang sedang diolok olok, misalnya gini deh “ciieee joko suka sama tini... cie ciee ciiee” pokoknya gitu deh yang ada “cie cie” nya, tunggu bukan ciu lho ya. Terus jangan salah lho, tingkat ASUsila di SMP tuh lumayan banyak, karena mungkin rasa penasaran si pelaku setelah melihat film yang “begituan” dan mungkin gurunya mengajarkan “Nak, setelah kamu mendapatkan teori segera praktekan ya!!” nah mugnkin dari situ juga si pelaku salah tanggap. Terjadi lah seperti itu dan mulai bermunculan video 3GP. Lagian nih ya,,, cewe SMP gitu masih fresh banget siapa sih yang gak mau?? #opppsss
dapet gambar ini dari mbah

Nah selain percintaan ada lagi nih yang unik, terkadang mereka tidak ingin di anggap remeh oleh teman sepermainannya dan mau di anggap hebat, jadilah seorang anak SMP yang sok jagoan di sekolahnya atau seantera jagad raya. Malak, mabok, rokok, balapan yaa mungkin itu yang mulai di coba-coba oleh anak brandal smp. Mungkin dari tunggangan agar lebih menarik diliat temen lain, di kasih motor sama ortu stang langsung di bengkokin kayak tukang somay, knalpot di ganti yang suaranya bikin kuping keluar cairan hijau, dan beralihnya fungsi helm menjadi pajangan kamar saja.


begajulan banget kan!!!


Kemudian beralih ke masa SMA... waaahh ini nih masa-masa yang paling indah banget deh. Tapi sebenernya ketika baru awal masuk SMA, seseorang  pasti masih cupu banget. Mungkin karena mereka belum menemukan mainstream yang cocok buat dia tiru. Kemudian mulai merambah dan menambah banyak teman. Hal yang paling sering di lakukan anak SMA yaitu nongkrong ketimbang belajar. Balajar pun itu kalo sudah ada ancaman “TIDAK DAPAT UANG JAJAN!!!” secepat kilat masuk kamar, membuka buku yang di tengahnya tetep ada HP untuk sekedar melihat FB ada notif apa engga. Masa SMA itu mungkin bisa di bilang sangat kelam kalau anda masuk lebih dalam nya lagi. eeemm tapi tergantung masuk di pergaulan mana dulu, kalo masuk ke yang lebih dalam dunia masjid ya mungkin jadi anak buah nya guru Agama atau Bahasa Arab. Tapi kalo selain itu pasti deh gak heran denger kata SEX, Tawuran, Mabok, dan Geng Motor,, masih banyak deh gak mungkin nyebutin satu persatu. 
 
Apalagi kalau anda lihat lebih detil lagi cewe SMA itu lebih ganas dari cewe SMP. Tapi ini gak semuanya begitu lhoo.... ini juga foto saya boleh ambil dari google kok. Bukan temen saya juga lho yaa.

kucing garong atau kucing beneran juga gak nahan liat ginian!!


 Sebenernya kalo menurut saya mah wajar sih, ketika pada saat itu mereka masih mecari jati diri. So, kalo mereka sudah menemukan jati diri yang benar pasti lah mereka kembali  ke jalan yang benar, tapi kemungkinan kecil juga sih ke jalan yang benar. Jarang soalnya.

Kemudian masuklah ke masa mahasiswa... naaaaahhhhh ini dia, untuk beberapa tahun ke depan saya belum bisa jelasin. Terang aja, saya belum lulus kuliah juga!!!

Sekian dari saya, mohon maaf kalo ada salah ketik!! Maklumin aja, kagak usah banyak komentar kalo banyak yang salah yee.

Sunday 30 October 2011


Membedakan Mainstream, Indie, atau DIY: Beberapa Kekeliruan Kategorikal 

If abolishing capitalism through punk rock is the ultimate aim of punk, and it is, then punk has so far failed, but as a process and a project commited to transforming consumers into producers, it succeeds on a daily basis (Stacey Thompson)

Pembicaraan kategorisasi biner mainstream vis a vis independen selalu jatuh pada pembahasan yang kurang lebih sama. Kategorisasi biner ini juga menjadi sindrom intelektual dalam cultural studies. Seperti Stuart Hall (resistance through ritual) dan Dick Hebdige (the meaning of subcultutre) yang jatuh pada kategori analitikal dominant culture vis a vis subculture.  Problematika dari cara berpikir ini terlihat dari semua penulis dalam polemik di Jakartabeat.net tentang indie. Jangan – jangan  kesalahan kategori teoritik ini yang tidak pernah membawa arah pembahasan ke tempat yang lebih jelas Saya tidak akan mengulas sedikit pun intisari dari polemik diatas. Yang akan saya lakukan adalah reframing the debate.
Kekeliruan utama, yang dilakukan Hall dan Hebdige , serta diulangi lagi oleh mereka yang berpolemik di Jakartabeat.net, adalah menukarkan secara bebas istilah subculture dengan counterculture. Keduanya, secara analitikal teoritik dan prakteknya jelas sangat berbeda. Mainstream musik yang berasal dari kategori budaya dominan, independen dari budaya subkultur, dan ini yang sering dilupakan, D.I.Y musik sebagai bagian dari praktek kounterkultur.
Raymond William  menawakan kategori analitikal yang kurang lebih sama seperti dominant culture, residual, dan emergent. Teman – teman di komunitas punk Jakarta, misalnya, memaknakan ulang istilah ini sebagai  budaya dominan – budaya sandingan (untuk subculture) – budaya tandingan (untuk counterculture).  Tiga jenis formasi budaya ini, untuk kepentingan analitik, perlu dipahami agar kekeliruan atau kebiasaan untuk menukar-gunakan istilah tidak terjadi dalam proses analitikal. Di sini, istilah subculture sepadan dengan residual, budaya sandingan. Sedangkan counterculture sepadan dengan emergent dan budaya tandingan.

Kekeliruan kedua, meskipun saya sependapat dengan Pry bahwa residual dan emergent misalnya lahir sebagai anak kandung kapitalisme, tapi ini tidak berarti formasi budaya tersebut mengafirmasi segala tindak dan tanduk perilaku kapitalisme.
Kekeliruan ketiga, mereka yang berpolemik di Jakartabeat.net sibuk dengan perputaran bising polemik ini dengan melihat musik “independen yang sudah tidak independen lagi” atau musik mainstream yang ga mainstream – mainstream amat. Dalam prakteknya, ketiga formasi budaya ini (baik dalam konteks musical practice atau praktek kebudayaan lainnya bersifat dinamis) saling tarik menarik dan saling serap. Marcuse mengatakan budaya dominan senang melakukan apa yang dia sebut repressive tolerance atau menyerap formasi budaya lainnya dengan komodifikasi. Sementara, subculture menurut Hedbige  melakukan mocking atau Homi Bhaba menggunakan istilah mimicry.
Saya  lebih senang mengikuti istilah Stacey Thompson yang sangat jelas membedakan secara psiko – analitik antara desire dan impulse atau hasrat impulsif yang mendorong pemusik untuk mendorong agenda kapitalisme dalam ranah astetik dan ekonomi membuatnya menjadi komoditas vis a vis mereka yang memiliki hasrat untuk menjadikan diri mereka produsen yang berasosiasi bersama dengan cara kolektif untuk mendapatkan ruang kebebasan. Dari pengaruh Thompson ini saya menggunakan istilah kecenderungan countercultural  dan kecendrungan subcultural. Mengingat setiap band sebagai pelaku utama produsen musik dapat saja  mengambil formasi kebudayaan tertentu pada saat mengeluarkan album yang berbeda. Dua kecendrungan ini bersifat kompleks karena pada dasarnya dipengaruhi konteks – situasi kondisi band, faktor ekonomi – politik dan lain hal.
Ambil  contoh, band Burger Kill yang di awal mengeluarkan album melalui Riotic Records dalam ranah produksi DIY, kemudian bergerak ke record label independen, lalu ke Sony, setelah itu kembali ke independen. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap Burger Kill, saya hendak mengatakan bahwa proses dinamika budaya ini mungkin saja terjadi bila memperhatikan bagaimana sebuah band pada satu waktu tertentu memutuskan untuk mengambil formasi budaya tertentu dalam produksi musiknya. Di luar misalnya kita bisa melihat Green Day atau yang menarik Propagandi di saat Fat Wreeckcord terkesan secara institusi ekonomi bergerak ke arah independen, Propagandi memutuskan tidak bekerjasama lagi. Atau Discord record yang tetap konsisten dengan kecendrungan D.I.Y.nya tanpa bergerak menuju moda produksi independen.

Apakah ada resistensi dalam musik indipenden?

Kekeliruan keempat, mereka yang berpolemik agaknya melihat formasi budaya secara statik. Ini  implisit terlihat dalam polemik, sehingga urusan independen dan mainstream seolah – olah bertentangan dan tidak bisa berpindah – pindah. Setiap formasi kebudayaan memiliki kontradiksinya sendiri. Sistem atau budaya kapitalisme memiliki kontrakdiksinya sendiri sehingga memungkinkan formasi budaya lain memanfaatkan celah – celah kontradiksi ini. Begitu pun sebaliknya, formasi subcultural residual dan countercultural emergent memiliki kontradiksi yang dapat dimanfaatkan oleh budaya dominan. Semua ini memungkinkan karena ada faktor relasional diantara katakana, serta terbangunnya relasi kuasa diantara ketiganya yang memungkinkan hadirnya anti kuasa (baca resistensi).
Kekeliruan kelima, menukarkan istilah dan menganggap independen sama dengan D.I.Y. Coba lihat lebih jelas lagi bagaimana cara kerja mode of production dari budaya dominan – budaya sandingan dan budaya tandingan dalam produksi budaya musiknya dalam format mainstream, independen dan D.I.Y. Di situ Anda akan menemukan perbedaan – perbedaan. Persamaan dari ketiganya dalam ranah musik adalah bahwa ketiganya membicarakan moda produksi sebuah produk budaya yang kita identifikasi sebagai musik. Namun, perbedaannya terletak pada cara memproduksi, untuk tujuan apa produksi kebudayaan itu diciptakan. Kemampuan untuk memproduksi dalam skala besar menjadi faktor pembeda utama. Belum lagi konten isi musik, kualitas sound, layout cover, dan lain-lain. Bagi mereka yang berdiri pada spektrum formasi budaya tertentu, hasil rekaman amburadul justru punya nilai lebih dibanding mainstream dan independen yang menitik beratkan pada kejernihan kualitas sound.
Apakah misalnya ada budaya trade, atau misalnya whole sale dalam distribusi produk kebudayaan musik mainstream dan independen? Jawaban untuk pertanyaan ini penting karena guna melawan kapitalisme dan menghilangkan pengaruh dari komodifikasi adalah meminimalisir apa yang kita pahami sebagai exchange values, nilai tukar yang diwakilkan oleh uang. Inilah salah satu bentuk akar dari resistensi ekonomi.
Perbedaan pada faktor distribusi juga penting. Misalnya sebagian independen record yg mengaku independen  menggunakan jejaring distribusi dari mainstream untuk memudahkan jangkauan sebar produksi musiknya. Ini  perlu untuk dibandingkan dengan bagaimana komunitas punk, terutama mereka yang menganut anarkisme dan etika D.I.Y , melakukan proses distribusi ini.
Mungkin list ini akan bertambah melihat kekeliruan dalam polemik yang tengah berlangsung. Apa jadinya misalnya Cholil dari Efek Rumah Kaca atau misalnya Otong Koil sebagai simbol – simbol independen bertemu dengan mereka di kalangan anarkisme punk seperti Tank Boy dan Anti yang Anti dengan etika D.I.Y nya? Menarik tentunya untuk bertanya apakah mereka pernah bersepakat dan bertemu? Atau bersepakat untuk tidak sepakat? Mungkin.
Lalu apakah kita dapat memulai sesuatu yang baru? Reframing the debate?  Dimana menempatkan jurnalisme jakartabeat.net dalam peta formasi budaya yang ada?

To change our frames is to change all of this. Reframing is social change (George Lakoff )